Nasi sudah menjadi bubur, entah mengapa hewan yang satu ini identik
dengan sebuah kedunguan. Orang sering menyebut namanya, sekedar untuk
mengatakan sebuah kebodohan. Orang sering memakai namanya untuk
melampiaskan ketololan. Banyak kesalahan dan kejelekan yang tidak ia
perbuat, tetapi dialamatkan kepadanya. Dasar keledai! Begitulah yang
sering telinga kita dengar selama ini, walau banyak juga di antara kita
yang belum melihat seperti apa hewan ini.
Mungkin dari rupanya yang imut, tubuhnya yang tidak gede-gede
amat, tinggi semampai – semeter tak sampai, dan polahnya yang lamban –
gemulai, itulah yang mendorong menjadikannya sasaran tembak. Orang
seenaknya berprasangka, padahal dia punya peran besar dalam perjalanan
sejarah umat manusia, sebagaimana tersebut di dalam Kitab Allah, “Dan ia
memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai
kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan
(Dia telah menciptakan) kuda, bighal dan keledai, agar kamu
menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa
yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS An-Nahl: 7 – 8).
Juga sejak
kapan label itu disematkan kepadanya, tak tercatat dalam sejarah. Sebut
saja kisah Nasrudin, tokoh sufi di jamannya, ketika bertemu dengan Timur
Lenk. Kesatria Mongol yang meluluh-lantakkan dinasti islam itu,
menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Tanpa bermaksud menggurui, apalagi
tersinggung, dengan kecerdikannya, Nasrudin menerimanya dengan senang
hati hadiah keledai tersebut. Sekalipun dengan tugas yang berat, karena
Timur Lenk berkata, “Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu,
datanglah kembali ke mari, dan kita lihat bagaimana hasilnya. Apakah
binatang dungu ini bisa membaca?”
Semua orang tahu, keledai tidak
bisa membaca, tapi bagi Nasrudin itu hal yang berbeda. Nasrudin berlalu
dengan keledai di tangan, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana
menjawab tantangan. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah
buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka
sampulnya. Si keledai menatap buku itu, dan tak lama kemudian mulai
membalik halamannya dengan lidahnya. Terus-menerus dibaliknya setiap
lembar halaman buku itu sampai ke halaman terakhir. Setelah itu si
keledai menatap Nasrudin. “Demikianlah,” kata Nasrudin, “keledaiku sudah
bisa membaca.”
Timur Lenk mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia membaca?”
Nasrudin
berkisah, “Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar
mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu
harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa makan biji-biji gandum
itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan
benar.”
“Tapi,” tukas Timur Lenk dengan ketidak-puasannya, “bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya?”
Nasrudin menjawab, “Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya.”
Bagi
pecinta lelucon, cerita di atas cukup untuk membuat kedua bibir
merekah. Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Namun sebenarnya
terdapat pesan mendalam dari anekdot di atas. Bukankah masih banyak
manusia yang semisal keledai di atas? Allah bahkan sudah mengingatkan;
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian
mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab
yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat
Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang dhalim.”
(QS Jumuah: 5). Bagaimana dengan umat islam sendiri?
Fakta
membuktikan angka buta huruf Alquran di kalangan mereka yang mengaku
islam masih tinggi. Yang melek huruf dan bisa membaca hanya sebagian,
kurang dari sepertiga. Itu pun hanya bisa membaca, belum bisa mengetahui
isinya: arti dan maknanya. Jadi bukan hanya pemilik Taurat yang seperti
keledai sebagaimana Allah sebut di atas, keadaan kita umat islam juga
serupa bin sama.
Tak usah menunjuk hidung orang lain, saya
pribadi mempunyai kebiasaan yang boleh disebut seperti keledai. Kenapa?
Membaca alquran tidak bisa setiap hari. Mengaji al-hadits tidak bisa
setiap minggu. Saya suka membawa Al-quran, al-hadits atau kitab sebagai
bacaan setiap kali pergi ke kantor. Maksudnya ingin membaca atau
menderesnya, jika ada waktu luang. Ternyata sampai saat pulang kembali,
buku itu masih tersimpan rapi dalam tas. Tak ada waktu membukanya. Ia
hanya nunut bertamasya setiap pagi ke kantor dan balik lagi ke rumah
dibalik punggung saya. Saya memanggulnya setiap hari. Kadang saya kaget
sendiri ketika membuka tas dan mendapati kitab itu ada di dalamnya.
Dengan coolnya dia seperti menampar kesungguhan dan niat baik saya untuk
mendalaminya. Astaghfirullah…!
Perilaku saya dalam hal ini, jika
tidak saya kontrol dengan baik lambat – laun akan serupa dengan spirit
ayat di atas. Wah, lupa deres. Wah, sibuk! Itu sudah menjadi jamak dan
menjadi permakluman. Jika tidak dideteksi sejak dini, menyadari sedari
awal, semakin banyak kita yang terlena. Hanya bangga punya al-quran dan
al-hadits, tetapi cuma sekedar punya. Sekedar memajang atau membawanya.
Tanpa mau bersusah – payah membuka, membuka lagi dan mempelajarinya.
Tanpa mau dan peduli mengkaji dan menderesnya.
Oleh karena itu,
saya melecut diri saya dengan mengumpamakan seperti keledai agar bangkit
dan bersemangat lagi uthlubul ilma. Mencari ilmu. Biar semangat lagi
deres atau mengulangnya. Semangat ngaji, kalau tidak mau jadi keledai
beneran. Jangan sampai Al-quran dan hadits hanya menjadi pajangan saja.
Jadi beban bawaan saja tanpa mau mendalami dan mendalaminya yang
akhirnya kayak Yahudi, dari lupa kemudian mendustakan.
Naudzubillah,,,!!! Semoga kita semua benar – benar menyadari ini semua
dan segera merubahnya. Agar semakin lama, semakin khusyu dan istiqomah
dalam tuntunan quran hadits yang membahagiakan ini. Apalagi kalau
mengingat pesan Allah yang satu ini.
Belumkah datang waktunya
bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah
dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab
kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang
yang fasik. (QS al-Hadiid:16)
Masa yang panjang, kehidupan yang
tenang, kondisi yang nyaman tanpa halangan, kadang sangat melenakan.
Apalagi jika banyak diisi dengan kelupaan dan kemalasan. Dan saya pikir,
lebih beruntung keledai yang tak harus berpikir itu semua. Sebab
perannya sebagai hewan, yang tak harus dihisap seperti manusia layaknya.
Jadi, di kelindan jaman yang disebut modern ini, di kehidupan yang
dilabeli globalisasi ini, masih sangat relevan kita meneriakkan
peringatan; awas keledai! Sebab masih banyak tingkah – laku muslim
sepertinya. Setuju?
Oleh: F.A.
hosting dan domain
Do not stop learning as long as you still life, because no one is born smart, and not the same someone who had knowledge and the ignorant
“Menakjubkan urusan seorang mu’min, jika ia mendapatkan ni’mat maka ia bersyukur dan syukur itu sangat baik baginya. Dan jika ia ditimpa musibah maka ia bersabar dan sabar itu sangat baik baginya.” (HR Muslim & Tirmidzi)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda, “Demi Alloh, DUNIA ini dibanding AKHIRAT ibarat seseorang yang mencelupkan JARINYA ke LAUT; air yang TERSISA di JARINYA ketika diangkat itulah NILAI DUNIA ( akhirat = LAUT) ” (HR Muslim)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda, “Demi Alloh, DUNIA ini dibanding AKHIRAT ibarat seseorang yang mencelupkan JARINYA ke LAUT; air yang TERSISA di JARINYA ketika diangkat itulah NILAI DUNIA ( akhirat = LAUT) ” (HR Muslim)
0 comments
Post a Comment