Site Meter Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (9) | A r t Of S i r a h

Do not stop learning as long as you still life, because no one is born smart, and not the same someone who had knowledge and the ignorant

“Menakjubkan urusan seorang mu’min, jika ia mendapatkan ni’mat maka ia bersyukur dan syukur itu sangat baik baginya. Dan jika ia ditimpa musibah maka ia bersabar dan sabar itu sangat baik baginya.” (HR Muslim & Tirmidzi)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda, “Demi Alloh, DUNIA ini dibanding AKHIRAT ibarat seseorang yang mencelupkan JARINYA ke LAUT; air yang TERSISA di JARINYA ketika diangkat itulah NILAI DUNIA ( akhirat = LAUT) ” (HR Muslim)

Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (9)

Posted by Unknown | Thursday, July 30, 2009 | | 0 comments »

Terjadilah adu tenaga yang tidak tampak oleh mata. Di tengah udara, diantara kedua orang itu terjadi benturan tenaga dahsyat dan akibatnya membuat Tee-tok terpental ke belakang, terhuyung dan dari mulutnya muntah darah segar! Dia tidak terluka hebat karena tenaganya Pek-lui-kun membalik, hanya tergetar hebat dan mukanya makin pucat. "Engkau hebat! Aku bukan tandinganmu!" kata Tee-tok dengan jujur, dan memandang dengan mata terbelalak penuh kagum dan juga penasaran. "Engkau luar biasa sekali dan aku amat kagum kepadamu, sahabat!" Gin- siauw Siucai berkata sambil melangkah maju. "Aku tahu bahwa agaknya aku pun bukan tandinganmu, akan tetapi hatiku penasaran sebelum melihat engkau mainkan ilmu-ilmuku yang tentu kauanggap masih mentah pula. Aku adalah Gin-siauw Siucai dari Beng-san, senjataku adalah suling dan pensil bulu entah kau bisa mainkannya atau tidak." "Gin-siauw Siucai, sudah lama aku mendengar namamu yang terkenal. Jangan khawatir, aku tentu saja dapat mainkan ilmumu. Dengan ranting pendek ini aku meniru sulingmu, dan aku pun memiliki sebatang pensil bulu."

Orang itu memungut sebatang ranting yang panjangnya sama dengan suling perak di tangan Gin-siauw Siucai, juga dia mencabut keluar pensil bulu yang tadi dia pergunakan untuk mencoretcoret ketika tujuh orang tokoh sakti itu sedang saling bertempur. Akan tetapi kalau pensil bulu di tangan Gin-siauw Siucai adalah pensil yang dibuat khas, bukan hanya untuk menulis akan tetapi juga dipergunakan sebagai senjata sehingga gagangnya terbuat dari baja tulen, adalah pensil di tangan orang itu hanyalah sebatang pensil biasa saja. Berkerut alis Gin-siauw Siucai. Orang itu dianggapnya terlalu memandang rendah kepadanya. Akan tetapi karena orang itu tersenyum-senyum dan meniru menggerak-gerakkan pensil dan "suling" di tangannya, dia lalu berkata, "Apa boleh buat, engkau sudah memperoleh kemenangan. Kalau kau kalah, orang akan menyalahkan aku yang menggunakan senjata lebih kuat. Kalau aku yang kalah, engkau akan menjadi makin terkenal, sungguhpun kami belum tahu siapa kau. Nah, mulailah!" Siucai ini cerdik dan dia sengaja menantang agar lawannya bergerak lebih dulu.

Akan tetapi orang itu tersenyum dan sambil menggerakkan kedua senjata istimewa itu berkata, "Lihat baik-baik, Siucai. Bukankah ini jurus terampuh dari suling dan pensilmu?" Kedua tangan orang itu bergerak dan Gin-siauw Siucai terkejut mengenal jurus-jurus maut dari kedua senjatanya dimainkan oleh orang itu untuk menyerangnya! Tentu saja dia dapat memecahkan jurus ilmunya sendiri dan berhasil menangkis kedua senjata lawan, akan tetapi seperti juga yang lain tadi, dia merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat, tanda bahwa dalam hal sinkang, dia masih kalah jauh. Namun, Siucai ini merasa penasaran sekali.

Puluhan tahun dia bertapa di Beng-san menciptakan ilmu-ilmu silat tinggi yang dirahasiakan dan belum pernah diajarkan kepada siapapun juga. Bagaimana sekarang telah dicuri oleh orang ini tanpa dia mengetahuinya? Dia melawan mati- matian, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh dari kedua senjatanya, namun karena kalah tenaga, setiap kali tertangkis dia terhuyung. Seperti juga yang lain dia tidak mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus.

Terdengar suara keras dan kedua senjatanya itu, suling dan pensil patah-patah bertemu dengan senjata lawan yang sederhana itu. Dia meloncat ke belakang, menjura dan berkata, "Kepandaian Taihiap(Pendekar Besar) memang amat hebat, aku yang bodoh mengaku kalah." Orang itu tersenyum dan memuji "Tidak percuma julukan Gin-siauw Siucai karena memang hebat kepandaianmu."

Ucapan itu dengan jelas menunjukkan kekaguman, bukan ejekan, maka Gin- siauw Siucai menjadi makin kagum dan terheran-heran. "Sekarang tiba giliran pinto untuk kau kalahkan, sahabat yang gagah. Akan tetapi karena sepasang senjata pinto adalah hudtim dan kipas, yang tentu saja tidak dapat kautiru, bagaimana kalau kita bertanding dengan tangan kosong? Hendak kulihat apakah kau mampu mengalahkan pinto dengan ilmu silat tangan kosong pinto sendiri?" Orang itu masih tersenyum, akan tetapi diam-diam ia terkejut. Tak disangkanya tosu ini amat cerdik. Dia belum pernah melihat tosu ni mainkan ilmu silat tangan kosong, bagaimana dia akan dapat menirunya? Akan tetapi dengan tenang dia menjawab, "Tentu saja saya akan melayani kehendak Totiang, akan tetapi sebelum bertanding, saya harap Totiang tidak keberatan untuk memperkenalkan nama."

"Siancai...! Anda licik, sobat. Semua orang hendak dikenal namanya, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Baiklah, pinto adalah Lam-hai Seng-jin yang berkepandaian rendah..." "Aihh, kiranya Tocu (Majikan Pulau) dari pulau kura-kura? Telah lama mendengar nama Totiang, girang hati saya dapat bertemu dan bermain-main sebentar dengan Totiang." "Nah, siaplah!" Lam- hai Seng-jin sudah memasang kuda-kuda sambil memandang tajam ke arah lawan karena dia ingin sekali tahu apakah benar lawan ini akan dapat menjatuhkan dia dengan ilmu silatnya sendiri!

Diam-diam orang itu memperhatikan dan tersenyum, lalu dia pun memasang kuda-kuda yang sama, kuda-kuda dari Ilmu Silat Tangan Kosong Bian-sin-kun (Tangan Kipas Sakti), semacam ilmu silat yang berdasarkan sinkang tinggi sekali tingkatnya sehingga telapak tangan menjadi halus seperti kapas, namun mengandung daya pukulan maut yang dahsyat sekali. "Hiiaaatttttt....!!" Tosu itu sudah menerjang dengan pukulan mautnya. Tampak olehnya lawannya mengelak cepat dengan gerakan aneh, sama sekali bukan gerakan ilmu silatnya, akan tetapi betapa kagetnya melihat bahwa begitu mengelak lawan itu dalam detik berikutnya sudah menerjangnya dengan jurus yang sama, jurus yang baru saja dia pergunakan!

Maklum akan hebatnya jurus ini, dia pun cepat mengelak untuk memecahkan ilmunya sendiri, namun harus diakui bahwa elakan orang tadi dengan gerakan aneh jauh lebih cepat dan bahkan sambil mengelak orang itu dapat balas menyerang! Kembali Lam-hai Seng-jin menyerang dengan jurus lain yang lebih dahsyat, dan seperti juga tadi lawannya meloncat dan tahu-tahu telah membalasnya dengan serangan dari jurus yang sama! Tentu saja dia dapat pula menghindarkan diri dan makin lama dia menjadi makin penasaran. Dikeluarkan semua ilmu simpanan, jurus-jurus maut dari Bian-sin-kun sampai delapan jurus banyaknya. Semua jurus dapat dihindarkan orang itu dan tiba-tiba orang itu berseru,

"Totiang, jagalah serangan Ilmu Silat Bian-sin-kun!" Dan dengan gencar kini orang itu menyerangnya dengan jurus-jurus yang tadi sudah dikeluarkannya, delapan jurus paling ampuh dari Bian-sin-kun. Karena gerakan orang itu cepat bukan main, Lam-hai Sengjin sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang sehingga dia terancam dan terdesak hebat oleh ilmu silatnya sendiri. Biarpun dia tahu bagaimana utnuk memecahkan jurus-jurus serangan dari Bian-sin-kun, namun karena kalah tenaga dan kalah cepat, akhirnya punggungnya kena ditampar dan dia terpelanting, mukanya pucat dan dia harus cepat-cepat mengatur pernafasannya agar isi dadanya tidak terluka.

"Siancai...engkau benar-benar seorang manusia ajaib..." akhirnya dia berkata sambil bangkit perlahanlahan. "Lepaskan aku...!" tiba-tiba terdengar seruan halus dan semua orang menengok ke arah Sin-tong dan melihat betapa anak ajaib itu telah dipondong oleh lengan kiri Kiam-mo Cai-li. "Hei, lepaskan dia!" Enam orang kakek sakti maju berbareng. "Mundur!" Kiam-mo Cai-li membentak dan menempelkan ujung payung pedang di tangan kanan itu ke leher Sin Liong. "Mundur kalian, kalau tidak dia akan mati!" Melihat ancaman ini, enam orang itu terpaksa melangkah mundur semua. Laki-laki aneh itu memandang dengan sinar mata berkilat, kemudian dia melangkah maju dan suaranya halus namun penuh wibawa ketika dia berkata, "Kiam-mo Cai-li, lepaskan bocah yang tidak berdosa itu!" "Hi-hik, enak saja kau. Mundur atau dia akan mampus di ujung payungku!" Dia menempelkan ujung payung yang runcing itu ke leher Sin Liong yang tak mampu bergerak dalam pelukan lengan kiri yang kuat itu.

Akan tetapi, tidak seperti enam orang kakek yang lain, laki-laki itu masih tersenyum dan masih melangkah maju, membuat Kiam-mo Cai-li mundur-mundur dan dia berkata, "Bocah itu tidak ada hubungan apa-apa dengan aku. Kalau kau bunuh dia, bunuhlah. Akan tetapi demi Tuhan, aku akan menangkapmu dan akan memberikan tubuhmu kepada Beruang Es untuk menjadi makanannya!" Berkata demikian, laki-laki itu menanggalkan jubah luarnya.

"Kau...kau..Pangeran Han Ti Ong...." "Pangeran Han Ti Ong...!" Para tokoh kang-ouw itu berteriak. "Pangeran Pulau Es....!" Kiam-mo Cai-li yang tadinya sudah merasa bahwa bocah ajaib itu tentu dapat dibawanya, menjadi marah sekali. Dia menjerit dengan lengking panjang rambutnya menyambar ke depan, ke arah leher Pangeran Han Ti Ong, dan pedang payungnya juga meluncur dengan serangan yang dahsyat.

Laki-laki itu, yang disebut Pangeran Han Ti Ong, tenang-tenang saja, tidak mengelak ketika ujung rambut yang tebal itu seperti seekor ular membelit lehernya, akan tetapi ketika pedang payung berkelebat menusuk, dia menangkap payung itu dan sekali menggeakkan tangan pedang payung itu dan sekali menggerakkan tangan pedang payung itu membabat putus rambut yang melibat lehernya. Tangannya tidak berhenti sampai di situ saja. Selagi Kiam-mo Cai-li menjerit melihat rambut yang dibanggakan dan andalkan itu putus setengahnya, kedua tangan Pangeran Han Ti Ong
bergerak, dan tahu-tahu tubuh Sin Liong dapat dirampasnya setelah lebih dulu dia menampar punggung wanita iblis itu sehingga tubuh Kiam-mo Cai-li menjadi lemas dan seperti lumpuh! Dengan Sin Liong dalam pondongan lengan kirinya, kini Pangeran Han Ti Ong membalik dan menghadapi tujuh orang itu, tidak mempedulikan Kiam-mo Cai-li yang mangeluh dan merangkak bangun.

"Apakah masih ada diantara kalian yang hendak mengganggu anak ini? Sekali ini aku tentu tidak akan bersikap halus lagi!" "Siancai....!" Lam-hai Sian-jin menjura, "Harap Ong-ya maafkan pinto yang tidak mengenal Ong-ya sehingga bersikap kurang ajar." "Maafkan aku, Pangeran." "Maafkan saya..." Enam orang kakek itu menggumam maaf, hanya Kiam-mo Cai-li saja yang tidak minta maaf, bahkan wanita ini berkata, "Pangeran Han Ti Ong, kau tunggu saja, Kiam-mo Cai-li tidak biasa membiarkan orang menghina tanpa membalas dendam!" "Hemmm, terserah kepadamu. Aku selalu berada di Pulau Es. Nah, pergilah kalian, orang-orang tua yang tak tahu diri, tega mengganggu seorang bocah."

Dengan kepala menunduk, tujuh orang tokoh kang-ouw yang namanya terkenal itu meninggalkan Hutan Seribu Bunga. Karena mereka mempergunakan kepandaiannya, maka hanya nampak bayangan-bayangan mereka berkelebat dan sebentar saja sudah lenyap dari tempat itu. "Hemmm...berbahaya..." Han Ti Ong melepaskan Sin Liong dan menghela napas panjang sambil memandang bocah itu yang sudah berlutut di depannya. "Locianpwe selain sakti dan budiman juga cerdik sekali..." Sin Liong berkata memuji sambil memandang wajah Pangeran itu dengan kagum.

Han Ti Ong mengerutkan alisnya. "Hemmm, mengapa kau mengatakan demikian, terutama apa artinya kau mengatakan aku cerdik?" "Locianpwe mengalahkan mereka, berarti Locianpwe sakti sekali, Locianpwe mengampuni dan membiarkan mereka lolos, berarti Locianpwe budiman, dan Locianpwe tadi mencatat gerakan- gerakan mereka dan kemudian mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri yang sudah Locianpwe catat berarti Locianpwe cerdik sekali."

Wajah yang gagah itu berubah, mata yang tajam itu memandang heran dan kagum, kemudian dia berkata, "Wah, dalam kecerdikan, belum tentu kelak aku dapat melawanmu! Akal dan kecerdikan memang amat perlu untuk mempertahankan hidup di dunia yang penuh bahaya ini. Tahukah engkau bahwa tanpa menggunakan akal budi, memanaskan hati mereka dengan mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri, kalau mereka maju bersama mengeroyokku, belum tentu aku dapat menang! Sekarang kau sudah bebas dari bahaya, nah, aku pergi...!" Melihat orang itu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ, Sin Liong memandang ke arah mayat sebelas orang dusun yang masih menggeletak di situ maka dia berseru, "Locianpwe....". Pangeran Han Ti Ong berhenti melangkah dan menoleh. Dia merasa heran sendiri. Tidak biasa baginya untuk mentaati perintah orang kecuali suara ayahnya, raja ketiga dari Pulau Es. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suara bocah itu yang membuat dia mau tidak mau menghentikan langkahnya, lalu menoleh dan bertanya, "Ada apa lagi?" Dengan masih berlutut Sin Liong berkata, "Locianpwe, sudilah kiranya Locianpwe menerima teecu sebagai murid."

Han Ti Ong kini memutar tubuh dan menghampiri anak yang masih berlutut itu. "Bocah, siapa namamu?" "Teecu She Kwa, bernama Sin Liong. Dengan ringkas Sin Liong lalu menuturkan tentang kematian ayah bundanya dan mengapa dia melarikan diri dan bersembunyi di hutan itu karena dia ngeri dan muak menyaksikan kekejaman manusia dan merasa mendapatkan tempat yang tentram dan damai di tempat itu. "Hemm, kau ingin menjadi muridku hendak mempelajari apakah?" "Mempelajari kebijaksanaan yang dimiliki Locianpwe dan tentu saja mempelajari ilmu kesaktian." "Kalau kau hanya ingin belajar silat mengapa tadi kau menolak ketika para tokoh menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka? Mereka itu adalah tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian hebat." "Namun teecu masih melihat kekerasan di balik kepandaian mereka. Teecu kagum kepada Locianpwe bukan hanya karena ilmu kesaktian, terutama sekali karena sifat welas asih pada diri Locianpwe."

"Tapi kau hendak belajar silat, mau kaupakai untuk apa? Bukankah kau lebih dibutuhkan dan berguna berada disini bagi penduduk sekitar Jeng-hoa-san?" "Maaf Locianpwe. Tidak ada seujung rambut pun hati teecu untuk mempergunakan ilmu kesaktian dalam tindakan kekerasan. Dan tidak tepat pula kalau kepandaian teecu disini berguna bagi para penduduk. Buktinya, teecu hanya bisa mengobati orang sakit, itu pun kalau kebetulan jodoh, sedangkan sebelas orang ini, tertimpa bahaya maut sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama sekali. Andaikata teecu memiliki kepandaian seperti Locianpwe, apakah sebelas orang ini akan tewas secara demikian menyedihkan? Teecu kini melihat bahwa menolong orang tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan, juga untuk menyelamatkan sesama manusia dari tindasan orang kuat yang jahat, diperlukan kepandaian. Mohon Locianpwe sudi memenuhi permintaan teecu."

"Aku adalah seorang penghuni Pulau Es. Hidup disana tidaklah mudah dan enak, tidak seperti disini. Kau akan mengalami kesukaran, bahkan menderita ditempat yang dingin itu." "Kesukaran apa pun akan teecu terima dengan hati rela, karena tiada hasil dapat dicapai tanpa jerih payah, Locianpwe."

Han Ti Ong tersenyum. Memang dia sudah tertarik sekali melihat bocah yang dijuluki Sin-tong ini. Bocah ini sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain yang lemah. Selain itu, pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bocah ini memang benar-benar bocah ajaib, memiliki ketajaman otak dan pandangan yang luar biasa, juga memiliki darah dan tulang bersih, bakatnya malah jauh lebih besar daripada dia sendiri! Kalau tadinya dia tidak mau menerima bocah ini sebagai murid adalah karena dia merasa malu terhadap diri sendiri, karena kalau dia mengambil anak ini sebagai murid lalu apa bedanya antara dia dengan tujuh orang yang dihalaunya pergi tadi. Akan tetapi, memang ada bedanya sekarang setelah Sin Liong sendiri yang mengajukan permohonan agar diterima menjadi muridnya. "Kalau memang sudah bulat kehendakmu menjadi muridku, baiklah, Sin-Liong. Mari kauikut bersamaku, akan tetapi jangan menyesal kelak. Hayo!" Han Ti Ong kembali membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi.



Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (10)

Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (1)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (2)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (3)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (4)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (5)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (6)

Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (7)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (8)


hosting dan domain

0 comments