Kiam-mo Cai-li kembali menjura, tersenyum dan berkata, "Aihhh, sudah lama sekali saya telah mendengar nama besar Cin-siauw Siucai, sebagai seorang ahli silat tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang mahir dan sudah lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di Beng-san. Mudah- mudahan saja saya akan berumur panjang untuk mengunjungi Beng-san yang indah, menjadi tamu Gin-siauw Siucai yang ramah dan sopan, tidak seperti kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan santun!" Ucapan terakhir ini jelas ditujukannya kepada tiga orang tokoh pertama yang kasar-kasar tadi.
Orang ke lima dari rombongan itu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah hudtim (Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya digoyang-goyang menipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama dari kaum tosu (Pemeluk Agama To)! Amat sempurna, namun tampak tak sempurna, tampak tidak lengkap, sungguhpun kegunaannya tiada kurang Terisi penuh, namun tampaknya meluap tumpah, tampaknya kosong, sungguhpun tak pernah kehabisan Yang paling lurus, kelihatan bengkok, yang paling cerdas, kelihatan bodoh, yang paling fasih, kelihatan gagu.
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (8)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (1)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (2)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (3)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (4)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (5)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (6)
hosting dan domain
Orang ke lima dari rombongan itu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah hudtim (Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya digoyang-goyang menipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama dari kaum tosu (Pemeluk Agama To)! Amat sempurna, namun tampak tak sempurna, tampak tidak lengkap, sungguhpun kegunaannya tiada kurang Terisi penuh, namun tampaknya meluap tumpah, tampaknya kosong, sungguhpun tak pernah kehabisan Yang paling lurus, kelihatan bengkok, yang paling cerdas, kelihatan bodoh, yang paling fasih, kelihatan gagu.
Api panas dapat mengatasi dingin, air sejuk dapat mengatasi panas, Sang Budiman, murni dan tenang dapat memberkati dunia!" "Huah-ha-ha-ha! Anda tentulah lam-hai Seng-jin (Manusia Sakti Laut Selatan), bukan? Sajak-sajak To-tekkheng agaknya telah menjadi semacam cap Anda, ha-ha-ha!" kata Pat-jiu Kai-ong sambil tertawa mengejek. Tosu itu berkata , "Siancai! Pat-jiu Kai-ong bermata tajam, dapat mengenal seorang tosu miskin dan bodoh." "Ah, jangan merendah, Totiang," kata Kiam-mo Cai- li, "Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa biarpun Anda seorang yang berpakaian tosu dan kelihatan miskin, namun memiliki sebuah istana dan menjadi majikan dari Pulau Kura-kura. Ini namanya menggunakan pakaian butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya."
"Siancai! Pujian kosong...!" Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah. Tee-tok Siangkoan Houw mngeluarkan suara menggereng tidak sabar. "Apa apaan semua kepura-puraan yang menjemukan ini? Patjiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, ketika kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan Sin-tong dan tentu sebelas orang dusun ini kalian berdua yang membunuhnya!" "Tee-tok, urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?" Pat-jiu Kai-ong menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun jelas bahwa dia merasa tak senang. "Bukan urusanku, memang! Akan tetapi ketahuilah, kami berlima mempunyai maksud yang sama, yaitu masing-masing menghendaki agar Sin- tong menjadi muridnya. Biarpun kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Sin-tong untuk menjadi murid kami atau seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk!" kata pula Tee-tok yang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi melalui suaranya yang nyaring.
"Tee-tok, jangan sombong kau! Mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Sin-tong, adalah urusan pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. Yang jelas, kita bertujuh masing-masing hendak memiliki Sin-tong, Untuk kepentingan pribadi masing-masing tentu saja sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini lima orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah dari dunia kang-ouw hendak mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua. Aku, Kiam-mo Cai-li sama sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok berlima, akan tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Gin-siauw Siucai, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!" kata Kiammo Cai-li yang cerdik.
"Perempuan sombong kau, Kiam-mo Cai-li!" Tee- tok membentak marah dan melangkah maju. "Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang iblis betina seperti engkau dari muka bumi!" "Tee-tok, buktikan omonganmu!" Kiam-mo Cai-li membentak dan dia pun melangkah maju. "Eh-eh, nanti dulu! Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki Sin-tong? Kami pun tidak mau ketinggalan!" kata Pat-jiu Kai-ong mencela. "Benar sekali! Perebutan ini tidak boleh dimonopoli oleh dua orang saja! Aku pun tidak takut menghadapi siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!" Thian-te Te-it Ciang Ham membentak menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada. "Siancai, siancai...!" Lam-hai Seng-jin melangkah maju, menggoyang kebutannya. "Harap Cuwi(Anda Sekalian) suka bersabar dan tidak turun tangan secara kacau saling serang. Semua harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan bocah yang biasanya hanya saling baku hantam memperebutkan sesuatu. Sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, yaitu ingin memperoleh Sin-tong. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan Sin-tong sendiri. Maka marilah kita berjanji. Kita bertanya kepada Sin-tong, kepada siapa ia hendak ikut dan kalau dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau mencampuri, Bagaimana?" "Hemm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju!" kata Tee-tok. "Aku pun setuju!" kata Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja dibikin keras agar terdengar oleh Sin-tong. "Tentu saja harus jujur tidak membohongi Sin-tong akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap sari kejantanannya juga harus berterus terang!"
Tentu saja dua orang tokoh golongan hitam itu mendongkol sekali dan ingin menyerang Thian-tok yang licik itu. "Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak mengambil murid, akan tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?" Kiam-mo Cai-li mengejek Thian-tok. "Kau...! Majulah, rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!" "Boleh! Siapa takut?" Wanita itu balas membentak.
"Siancai...!" Lam-hai Seng-jin mencela dan melangkah maju. "Apakah kalian benar-benar hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan Sin-tong." Tujuh orang itu lalu menghampiri Sin-tong yang masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku tujuh orang itu. "Sin-tong yang baik. Lihatlah, kau satu-satunya wanita di antara kami bertujuh. Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak mempunyai anak, kau mendengar bahwa engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang Pangeran di istanaku, di Rawa Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia. Marilah Sin-tong, Anakku!"
Sin Liong mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab, juga tidak bergerak, hatinya makin sakit karena dia dengan jelas dapat melihat kepalsuan di balik bujuk-rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh jiwa enam orang dusun yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab.
"Sin-tong, aku adalah ketua dari Pat-jiu Kai-pang di Pegunungan Hong-san. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Sin-tong, dan kelak engaku akan menjadi raja Pengemis. Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan Pat-jiu Kai-ong akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia ini!"
Kembali Sin-tong memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat membunuh lima orang dusun sambil tertawa- tawa seperti kakek ini sekarang menawarkan kepadanya untuk menjadi raja pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan mukanya.
"Anak ajaib, anak baik, Sin-tong, dengarlah aku. Aku adalah Gin-siauw Siucai, seorang sastrawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Beng-san. Selama hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku tekun menghimpun ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai muridku, Sin- tong." "Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Sin-tong. Biarpun aku seorang yang kasar, namun hatiku lemah menghadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid Tee-tok. Pilihlah aku menjadi gurumu, Sin-tong." "Tidak, aku saja! Aku Bhong Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapapun dan sekarang kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang mewarisi ilmu Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau akan merajai dunia kang-ouw, Sin-tong." "Lebih baik menjadi muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang Ham, di kolong dunia nomor satu dan ketua dari Kang- jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia terpandai di kolong langit!"
"Siancai...siancai..! Kaudengarlah mereka semua itu, Sin-tong. Semua hendak mengajarkan ilmu silat dan memamerkan kekayaan duniawi, tidak seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto (aku) ingin sekali mengambil murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang calon Guru Besar Kebatinan. Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan besar seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid Lam-hai Sengjin, Sin-tong!"
Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seperti arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang orang yang membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar dan penuh duka. "Terima kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun juga di antara Cuwi karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia. Tidak, saya tidak akan turut siapapun, saya lebih senang tinggal disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini."
"Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!" kata Tee-tok yang berwatak berangasan dan kasar. "Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya!" bentak Thian-tok. "Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih seorang diantara kita secara sukarela. Karena itu, tentu kita semua ingin merampasnya secara kekerasan. Maka harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita sekarang masing- masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak meimiliki Sin-tong," kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar daripada yang lain. "Mana bisa diatur begitu?" bantah Pat-jiu kai- ong yang khawatir kalau-kalau lima orang itu akan mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li. "Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus menghadapi yang lain setelah beristirahat. Begitu baru adil!" "Tidak!" bantah Kiam-mo Cai-li, wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya kalau terjadi pertandingan bersama seperti yang diusulkan Lam-hai Seng-jin. Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang. "Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan demikian, satu-satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah lihai daripada yang lain." Akhirnya Pat-jiu kai-ong kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan senjata masingmasing, membentuk lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling lirik , siap untuk menghantam siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga! Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh!
Sin Liong yang masih duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing- masing untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga bagi Sin Liong, yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa. Memang hebat pertandingan ini karena dipandang sepintas lalu, seolah-olah setiap orang melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai- ong dengan siang-kiamnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Pat-jiu Kai-ong terkejut karena pada saat itu dia sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga sedang menyerang Gin-siauw Siucai! Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tee-tok itu bertemu dengan tombak di tangan Thian-he Te-it dan tongkat Thian-tok, sehingga seolah-olah dua orang ini melindungi Pat-jiu Kaiong. Pertandingan kacau balau dan hanya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat cerdiknya. Dia tidak melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputar-putar, selalu menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia pun itdak menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang diantara mereka yang terdesak. Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan "mengeroyok" tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah mudah dibokong oleh Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah mereka menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret ke dalam pertandingan kacau- balau itu! Terpaksa dia mempertahankan diri dengan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan kemarahan meluap- luap.
Sin Liong menjadi bengong. Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang laki-laki duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan itu. Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencoratcoret di atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Sin Liong yang terheran-heran itu memperhatikan. Orang laki-laki itu kurang lebih empat puluh tahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di bagian dada bajunya yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat terpelihara sehingga mengkilap. Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh orang sakti itu. Sin Liong makin bingung. Betapa mungkin melukis tujuh orang yang sedang berkelebatan hampir tak tampak itu? Sin Liong tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu.
"Siancai! Pujian kosong...!" Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah. Tee-tok Siangkoan Houw mngeluarkan suara menggereng tidak sabar. "Apa apaan semua kepura-puraan yang menjemukan ini? Patjiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, ketika kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan Sin-tong dan tentu sebelas orang dusun ini kalian berdua yang membunuhnya!" "Tee-tok, urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?" Pat-jiu Kai-ong menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun jelas bahwa dia merasa tak senang. "Bukan urusanku, memang! Akan tetapi ketahuilah, kami berlima mempunyai maksud yang sama, yaitu masing-masing menghendaki agar Sin- tong menjadi muridnya. Biarpun kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Sin-tong untuk menjadi murid kami atau seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk!" kata pula Tee-tok yang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi melalui suaranya yang nyaring.
"Tee-tok, jangan sombong kau! Mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Sin-tong, adalah urusan pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. Yang jelas, kita bertujuh masing-masing hendak memiliki Sin-tong, Untuk kepentingan pribadi masing-masing tentu saja sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini lima orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah dari dunia kang-ouw hendak mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua. Aku, Kiam-mo Cai-li sama sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok berlima, akan tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Gin-siauw Siucai, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!" kata Kiammo Cai-li yang cerdik.
"Perempuan sombong kau, Kiam-mo Cai-li!" Tee- tok membentak marah dan melangkah maju. "Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang iblis betina seperti engkau dari muka bumi!" "Tee-tok, buktikan omonganmu!" Kiam-mo Cai-li membentak dan dia pun melangkah maju. "Eh-eh, nanti dulu! Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki Sin-tong? Kami pun tidak mau ketinggalan!" kata Pat-jiu Kai-ong mencela. "Benar sekali! Perebutan ini tidak boleh dimonopoli oleh dua orang saja! Aku pun tidak takut menghadapi siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!" Thian-te Te-it Ciang Ham membentak menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada. "Siancai, siancai...!" Lam-hai Seng-jin melangkah maju, menggoyang kebutannya. "Harap Cuwi(Anda Sekalian) suka bersabar dan tidak turun tangan secara kacau saling serang. Semua harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan bocah yang biasanya hanya saling baku hantam memperebutkan sesuatu. Sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, yaitu ingin memperoleh Sin-tong. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan Sin-tong sendiri. Maka marilah kita berjanji. Kita bertanya kepada Sin-tong, kepada siapa ia hendak ikut dan kalau dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau mencampuri, Bagaimana?" "Hemm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju!" kata Tee-tok. "Aku pun setuju!" kata Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja dibikin keras agar terdengar oleh Sin-tong. "Tentu saja harus jujur tidak membohongi Sin-tong akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap sari kejantanannya juga harus berterus terang!"
Tentu saja dua orang tokoh golongan hitam itu mendongkol sekali dan ingin menyerang Thian-tok yang licik itu. "Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak mengambil murid, akan tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?" Kiam-mo Cai-li mengejek Thian-tok. "Kau...! Majulah, rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!" "Boleh! Siapa takut?" Wanita itu balas membentak.
"Siancai...!" Lam-hai Seng-jin mencela dan melangkah maju. "Apakah kalian benar-benar hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan Sin-tong." Tujuh orang itu lalu menghampiri Sin-tong yang masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku tujuh orang itu. "Sin-tong yang baik. Lihatlah, kau satu-satunya wanita di antara kami bertujuh. Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak mempunyai anak, kau mendengar bahwa engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang Pangeran di istanaku, di Rawa Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia. Marilah Sin-tong, Anakku!"
Sin Liong mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab, juga tidak bergerak, hatinya makin sakit karena dia dengan jelas dapat melihat kepalsuan di balik bujuk-rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh jiwa enam orang dusun yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab.
"Sin-tong, aku adalah ketua dari Pat-jiu Kai-pang di Pegunungan Hong-san. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Sin-tong, dan kelak engaku akan menjadi raja Pengemis. Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan Pat-jiu Kai-ong akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia ini!"
Kembali Sin-tong memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat membunuh lima orang dusun sambil tertawa- tawa seperti kakek ini sekarang menawarkan kepadanya untuk menjadi raja pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan mukanya.
"Anak ajaib, anak baik, Sin-tong, dengarlah aku. Aku adalah Gin-siauw Siucai, seorang sastrawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Beng-san. Selama hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku tekun menghimpun ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai muridku, Sin- tong." "Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Sin-tong. Biarpun aku seorang yang kasar, namun hatiku lemah menghadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid Tee-tok. Pilihlah aku menjadi gurumu, Sin-tong." "Tidak, aku saja! Aku Bhong Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapapun dan sekarang kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang mewarisi ilmu Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau akan merajai dunia kang-ouw, Sin-tong." "Lebih baik menjadi muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang Ham, di kolong dunia nomor satu dan ketua dari Kang- jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia terpandai di kolong langit!"
"Siancai...siancai..! Kaudengarlah mereka semua itu, Sin-tong. Semua hendak mengajarkan ilmu silat dan memamerkan kekayaan duniawi, tidak seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto (aku) ingin sekali mengambil murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang calon Guru Besar Kebatinan. Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan besar seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid Lam-hai Sengjin, Sin-tong!"
Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seperti arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang orang yang membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar dan penuh duka. "Terima kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun juga di antara Cuwi karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia. Tidak, saya tidak akan turut siapapun, saya lebih senang tinggal disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini."
"Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!" kata Tee-tok yang berwatak berangasan dan kasar. "Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya!" bentak Thian-tok. "Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih seorang diantara kita secara sukarela. Karena itu, tentu kita semua ingin merampasnya secara kekerasan. Maka harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita sekarang masing- masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak meimiliki Sin-tong," kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar daripada yang lain. "Mana bisa diatur begitu?" bantah Pat-jiu kai- ong yang khawatir kalau-kalau lima orang itu akan mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li. "Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus menghadapi yang lain setelah beristirahat. Begitu baru adil!" "Tidak!" bantah Kiam-mo Cai-li, wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya kalau terjadi pertandingan bersama seperti yang diusulkan Lam-hai Seng-jin. Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang. "Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan demikian, satu-satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah lihai daripada yang lain." Akhirnya Pat-jiu kai-ong kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan senjata masingmasing, membentuk lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling lirik , siap untuk menghantam siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga! Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh!
Sin Liong yang masih duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing- masing untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga bagi Sin Liong, yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa. Memang hebat pertandingan ini karena dipandang sepintas lalu, seolah-olah setiap orang melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai- ong dengan siang-kiamnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Pat-jiu Kai-ong terkejut karena pada saat itu dia sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga sedang menyerang Gin-siauw Siucai! Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tee-tok itu bertemu dengan tombak di tangan Thian-he Te-it dan tongkat Thian-tok, sehingga seolah-olah dua orang ini melindungi Pat-jiu Kaiong. Pertandingan kacau balau dan hanya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat cerdiknya. Dia tidak melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputar-putar, selalu menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia pun itdak menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang diantara mereka yang terdesak. Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan "mengeroyok" tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah mudah dibokong oleh Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah mereka menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret ke dalam pertandingan kacau- balau itu! Terpaksa dia mempertahankan diri dengan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan kemarahan meluap- luap.
Sin Liong menjadi bengong. Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang laki-laki duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan itu. Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencoratcoret di atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Sin Liong yang terheran-heran itu memperhatikan. Orang laki-laki itu kurang lebih empat puluh tahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di bagian dada bajunya yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat terpelihara sehingga mengkilap. Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh orang sakti itu. Sin Liong makin bingung. Betapa mungkin melukis tujuh orang yang sedang berkelebatan hampir tak tampak itu? Sin Liong tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu.
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (8)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (1)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (2)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (3)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (4)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (5)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (6)
hosting dan domain





0 comments
Post a Comment