Suara tambur itu seolah-olah menghantami isi dada Sin Liong, karena suara itu suara yang paling tidak disukainya, suara yang menandakan bahwa akan ada orang lagi yang dihukum! Maka dia tidak bergerak, mengambil keputusan tidak akan menonton karena menonton berarti hanya akan menghadapi hal yang menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia meloncat bangun ketika mendengar suara panggilan Swat Hong, suara panggilan yang lain dari biasanya karena suara dara itu mengandung isak tangis yang mengejutkan.
"Kwa-suheng...!!" Sin liong terkejut melihat dara itu berlari-lari kepadanya sambil menangis dan dengan wajah yang pucat sekali. "Ada apakah, Sumoi?" tegurnya sebelum dara itu tiba di depannya. "Suheng..., celaka... Ibuku..."Biarpun hatinya berdebar penuh kaget dan kejut, Sin Liong bersikap tenang ketika di memegang kedua pundak Sumoinya dan bertanya, "Ada apakah dengan Ibumu? Tenanglah, Sumoi." "Swat Hong menahan isaknya. "Mereka... mereka menangkap Ibuku dan membawanya ke sidang pengadilan..." Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah keterlaluan ini, pikirnya. Rasa penasaran membuat dia berlaku agak kasar. Digandengnya tangan Sumoinya, ditariknya dara itu dan dia berkata , "Mari kita lihat!" Ketika dua orang itu tiba di ruangan pengadilan, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan berlainan sekali dengan sidang pengadilan yang sudah-sudah karena suasana amat sunyi.
Tidak ada seorang pun diperbolehkan mendekati ruangan pengadilan, bahkan ketika Sin liong dan Swat Hong tiba disitu, mereka dihadang oleh beberapa orang penjaga, "Maaf, atas perintah Sribaginda, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang pengadilan hari ini." Kata mereka. Dengan kedua tangan di kepal, Swat Hong melompat maju, matanya melotot dan mukanya merah sekali, "Apa kalian bilang? Kalian berani melarang aku memasuki ruangan? Apakah kalian sudah bosan hidup?" Sin Liong cepat memegang lengan sumoinya karena dia maklum bahwa kalau sumoinya ini sudah marah, tentu akan hebat akibatnya. Juga para penjaga itu mundur ketakutan karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri ini. "Harap Saudara sekalian melaporkan kepada atasan Saudara bahwa kami akan memasuki ruang sidang," kata Sin Liong dengan tenang kepada para penjaga. "Akan tetapi kami hanya mentaati perintah. Bagaimana kami berani melanggar?" jawab kepala penjaga dengan muka bingung. "Aku tahu. Ibuku yang diadili, Bukan? Nah, dengar kalian! Apa pun yang akan terjadi dengan ibuku, aku harus hadir, kalau perlu aku akan bunuh kalian semua agar dapat masuk!" Kembali Swat Hong membentak. "Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami masuk. Akibatnya biarkan kami berdua yang menanggungnya,"kembali Sin Liong berkata dan keduanya memaksa masuk.
Para penjaga tidak ada yang berani melarang akan tetapi mereka cepat-cepat lari untuk melapor kedalam. Han Ti Ong mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong dan Swat Hong memasuki ruang sidang, akan tetapi dia hanya mengangguk kepada para penjaga yang kebingungan. Hal ini melegakan hati para penjaga dan mereka cepat-cepat meninggalkan ruangan itu untuk menjaga di luar, karena mereka pun tidak boleh mendengarkan sidang yang sedang mengadili isteri raja! Dapat dibayangkan betapa hancur hati Swat Hong melihat ibunya dengan tenang berlutut di depan meja pengadilan
bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sebagai pelayan dalam istana. Hatinya menduga dan dia merasa ngeri karena melihat ibunya dan pemuda itu berlutut di situ, dia seolah-olah melihat Sia Gin Hwa dan Lu Kiat, dua orang pesakitan yang saling berjinah itu! Akan tetapi dia tidak percaya! Tak mungkin ibunya...! Akan tetapi dia menjadi lemas dan menurut saja ketika Sin Liong menariknya dan mengajaknya duduk dideretan kursi pinggiran yang sekali ini sama sekali kosong. Di belakang meja panjang hanya duduk jaksa, hakim, Raja Han Ti Ong , permaisurinya, dan Han Bu Ong, bocah berusia delapan tahun yang mengenakan pakaian indah dan duduk dengan agungnya di dekat ibunya, matanya memandang kearah Sin Liong dan Swat Hong dengan angkuh. Kemudian terdengarlah suara nyaring Sang Jaksa, suara yang bagi telinga Swat Hong terdengar seperti sambaran pedang yang menusuk-nusuk hatinya dan bagi Sin Liong seperti guntur di tengah hari!
"Liu Bwee, sebagai bekas istri Sribaginda, dari seorang anak nelayan biasa menjadi seorang mulia terhormat, ternyata membalas budi Sribaginda dengan aib dan noda yang hina, telah ditangkap karena melakukan perjinahan dengan seorang pelayan muda. Dosa ini amat besar karena selain menimbulkan aib dan malu kepada Sribaginda, juga kalau diketahui dunia luar akan mencemarkan nama Kerajaan Pulau Es. Oleh karena itu, sepatutnya dia dijatuhi hukuman yang seberat mungkin." "Bohong...! Ibu tidak mungkin...." Swat Hong menjerit dan hendak melompat maju menyerang jaksa yang berani mengeluarkan ucapan menuduh ibunya seperti itu akan tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk mencegah sumionya bergerak. "Swat Hong! Berani engkau kurang ajar di depan Ayah?" Terdengar Han Ti Ong membentak dengan penuh wibawa. "Ayah, tuduhan itu fitnah belaka! Tidak mungkin ibu melakukan hal yang kotor itu. Mana buktinya? Siapa saksinya?" kembali Swat Hong menjerit-jerit. "Hong-ji, jangan begitu. Ibumu tidak berdosa, akan tetapi kita harus. tunduk kepada peraturan dan hukum, anakku.Tenanglah." Ucapan ini keluar dari mulut Liu Bwee yang menoleh kearah Swat Hong, suaranya lirih dan jelas, namun mengandung kedukaan yang merobek hati. "Liu Bwee, engkau telah mendengar tuduhan atas dirimu. Apakah pembelaanmu?" terdengar suara hakim tua itu dengan halus dan lirih seperti biasanya, namun penuh wibawa karena dalam sidang ini, dialah orang yang paling kuasa. "Saya tidakakan membela diri, hanya seperti dikatakan anakku tadi, agar tidak mendatangkan penasaran, harap suka disebutkan siapa saksinya dan apa buktinya yang memperkuat tuduhan terhadap diriku," kata Liu Bwee dengan tenang dan suara halus. Jaksa yang termasuk orang di antara anggauta keluarga raja yang tidak senang kepada Liu Bwee karena dia dahulupun mengharapkan agar Han Ti Ong memilih anak perempuannya, segera berkata lantang, "Buktinya? Engkau ditangkap ketika berada di dalam kamar dengan A Kiu, padahal dia bukanlah pelayanmu. Apalagi yang kalian kerjakan kalau bukan berjinah? Seorang wanita dan seorang laki-laki yang tidak ada hubungan apa-apa berada di dalam kamar berdua saja! selain itu, perjinahan kalian juga telah ada yang menyaksikan."
Wajah Swat Hong sebentar pucat dan sebentar merah. Tak dapat dia menahan kemarahanya. Ibunya dituduh berjinah dengan seorang pelayan! "Bohong! itu bukan bukti!! Kalau memang ada yang menyaksikan, hayo siapa yang menyaksikan?" teriaknya, tidak memperdulikan cegahan Sin Liong yang masih memegang lengannya karena khawatir kalau-kalau dara ini mengamuk. "Akulah saksinya!" tiba-tiba terdengar suara kecil merdu dan Han Bu Hong telah bangkit berdiri dengan sikap menantang. Mulut anak ini tersenyum mengejek dan matanya bersinar-sinar. "Enci Hong, akulah yang telah melihat ibumu dan pelayan itu di atas ranjang...." "Ssssttt, diam...!" Permaesuri menarik puteranya. Akan tetapi hakim telah berkata lagi, "Sudah terbukti kesalahan besar yang dilakukan Liu Bwee. Kesalahan paling besar yang dapat dilakukan oleh seorang wanita..." "Nanti dulu!" Dengan muka pucat sekali Swat Hong memotong kata-kata hakim. "Tidak adil kalau begini! kita belum mendengar keterangan A Kiu. Hai, A Kiu, aku percaya bahwa
engkau seorang manusia yang menjujur kegagahan, tidak mungkin seorang pria penghuni Pulau Es Seperti engkau menjatuhkan fitnah sebagai seorang pengecut hina dina. Hayo ceritakan sesungguhnya apa yang terjadi!" Suara Swat Hong ini nyaring sekali dan muka A Kiu menjadi pucat, kepalanya makin menunduk. Suasana menjadi hening dan akhirnya terpecah oleh suara Raja, "A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!" Tubuh itu menggigil, muka yang tampan itu pucat sekali ketika diangkat memandang Raja, kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap tenang dan agung berlutut di sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap angkuh memandang kepadanya, A Kiu mengeluh lirih, kemudian menelungkup dan berkata dengan suara mengandung isak, "Hamba tidak berdaya... hamba memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti kesaksian Pangeran kecil... hamba terpaksa karena..." "Berani kau mengatakan puteraku bohong?" Jeritan ini keluar dari mulut permaisuri dan hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakan tangan kirinya ke arah A Kiu. "Dess...! Aungghh...!" Tubuh A Kiu terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah. Hebat sekali pukulan jarak jauh yang di lakukan permaesuri itu, mengenai kepala A Kiu yang tentu saja tidak kuat menahannya. Hakim dan jaksa saling pandang, sedangkan Raja menegur Permaesurinya, "Kau terlalu lancang...." "Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina putera kita?" Permaesuri membantah dengan suara agak ketus. Raja diam saja dan menarik nafas panjang. Dia merasa bingung dan berduka sekali harus menghadapi perkara ini, lalu memberi isyarat kepada hakim sambil berkata, "Lanjutkan." Hakim menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata lantang, " Saksi utama yang mejadi pelaku perjinahan telah terbunuh karena berani menghina Pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah berada di kamar itu, maka sudah jelas dosa yang dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu sudah adil kalau dia harus dijatuhi hukuman berat. Liu Bwee, pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepadamu!" "Ibuuuu..!!" Swat Hong meronta dan melepaskan diri dari Sin Liong, meloncat dan menubruk ibunya. "Sssst, tenanglah, Hong-ji...." ibunya terbisik dengan sikap masih tenang saja, sungguhpun wajahnya kelihatan makin berduka. "Tenang? Tidak! ibu tidak boleh dihina sampai begini!" Swat Hong lalu bangkit berdiri, menghadapi ayahnya dan berkata lantang, "ibuku telah dijatuhi hukuman tanpa bukti dan saksi yang jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan saya tidak rela melihat ibu dibuang ke Pulau Neraka. Saya sebagai anak tunggalnya, yang takkan mampu membalas budinya dengan nyawa, saya yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu. Saya yang akan mejadi penggantinya ke Pulau Neraka, maka harap Sribaginda bersikap bijaksana, membiarkan ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan usianya di Pulau Es. Ibu, selamat tinggal!" "Hong-ji...!" ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong sudah meloncat dan lari keluar dari tempat itu dengan cepat. Sin Liong memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya hal yang sudak dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan, suatu yang akan meledak, ternyata sehebat ini. "Hong-ji... ah, Hong-ji, Anakku...!" Liu Bwee tak dapat menahan lagi tanggisnya. Dia maklum bahwa untuk mengejar anaknya dia tidak mungkin dapat karena kepandaian puterinya itu sudah tinggi sekali, juga dia sebagai seorang pesakitan, tentu saja tidak berani melanggar hukum dan lari dari tempat itu. "Aduh, anakku... Swat Hong... Swat Hong... apa yang mereka lakukan atas dirimu...?" ibu yang hancur hati ini meratap. Hakim menjadi bingung dan beberapa kali menoleh kearah Raja seolah-olah hedak minta keputusan Han Ti Ong. Raja ini menggigit bibir, jengkel dan marah karena tak disangkanya bahwa urusan akan berlarut-larut seperti ini. Ketika dia menerima laporan tentang istri pertamanya, Liu Bwee, yang berjinah dengan seorang pelayan muda, hatinya panas dan marah sekali. Akan tetapi dia masih hendak membawa perkara ini kepengadilan agar diambil keputusan yang seadil-adilnya. Siapa mengira terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Permaisurinya membunuh pelayan muda, kemudian kini Swat Hong membela ibunya, bahkan menggantikan ibunya "membuang diri" ke Pulau Neraka. maka kini,melihat betapa hakim menjadi bingung dan minta keputusannya, dia memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri sambil berkata, " Sudahlah, sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong. Anak yang keras kepala itu sudah menggantikan ibunya ke Pulau Neraka. Sudah saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus disini!" Setelah berkata demikian, dia menggandeng tanggan Bu Ong dan permaisurinya, bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi Liu Bwee juga bangkit berdiri dan wanita ini berkata lantang, sambil menatap wajah suaminya dengan mata tajam. "Biarpun anakku telah menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku telah diperbolehkan tinggal di sini, akan tetapi apa artinya hidup disini bagiku setelah anakku pergi ke Pulau Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi tinggal di sini lagi. Aku mulai saat ini tidak menganggap diriku sebagai penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi dari sini!" Setelah berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi. Setelah dia bukan pesakitan lagi, setalah dia bukan terhukum, dia berani pergi, bahkan dengan sikap tidak menghormat lagi kepada Raja yang pernah menjadi suami dan pujaan hatinya selama bertahun-tahun itu. "Hmm, sesukamulah!' kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini memasuki istana bersama permaisuri dan Pangeran Bu Ong. Sampai ruangan persidangan itu kosong dan mayat A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih duduk di situ. Di dalam hatinya, dia merasa menyesal melihat sikap Raja Han Ti Ong, gurunya yang di cintainya itu. Tahulah dia bahwa perubahan pada diri gurunya itu terutama sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang kini telah menjadi permaisurinya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali. Bukankah dia sendiri yang dahulu minta kepada gurunya membawa pendekar wanita Bu-tong-pai itu ke Pulau Es? Kini, wanita itu menjadi selir gurunya, dan setelah The Kwat Lin menjadi permaisuri, kebahagiaan ibu Swat Hong menjadi musna! Bahkan kini berekor seperti ini, dengan larinya Swat Hong menggantikan ibunya ke Pulau Neraka sedang ibu dara itu sendiri pergi entah ke mana! Dialah, langsung atau tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, tidak mungkin dia menegur gurunya, Juga permaisuri tidak dapat dipersalahkan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan tanggung jawabnya atas kerusakan hidup Swat Hong dan ibunya. Kalau dia mendiamkan saja, seolah-olah dia ikut pula persekutuan untuk merusak hidup ibu dan anak itu. "Pulau Neraka kabarnya merupakan tempat berbahaya sekali. Aku harus menyusul Swat Hong dan melindunginya."
Demikian dia mangambil keputusan dalam hatinya dan dia tidak lagi berpamit kepada gurunya karena maklum gurunya sedang berada dalam kedukaan dan kepusingan. Pula, Sin Liong sudah biasa meninggalkan pulau itu mencari tetumbuhan obat, maka kepergiannya dengan sebuah perahu menunggalkan Pulau Es tidak ada yang menaruh curiga. Dengan tenaganya yang amat kuat Sin Liong mendayung perahunya sehingga perahu meluncur amat cepatnya menuju ke Pulau Neraka. Dia sudah tahu dimana letaknya pulau itu, dari keterangan yang diperolehnya ketika dia bertanya-tanya kepada para penghuni Pulau Es Bahkan diam-diam pernah pula seorang diri mendayung perahu mendekati Pulau Neraka ini akan tetapi hanya melihat dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu dari jauh tampak kehitaman seperti pulau yang pantas di huni oleh setan dan iblis.Pantainya penuh dengan batu-batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apalagi kalau ombak sedang besar. Sama sekali tidak tampak ada penghuninya
sehingga ketika itu Sin Liong menduga-duga bahwa orang-orang buangan yang dibuang dari Pulau Es tentu telah tewas di jalan, tentu tewas di atas pulau itu. Maka dia menentang keras dalam hatinya kalau melihat di Pulau Es diadakan pengadilan dan diputusakan hukuman buang ke Pulau Neraka, karena baginya, dibuang ke Pulau Neraka sama dengan menghadapi kematian yang mengerikan, baik di dalam perjalanan menuju ke pulau itu atau setelah berasil mendarat. Dan kini Swat Hong telah pergi ke Pulau Neraka mewakili ibunya! Dia kagum dan khwatir. Kagum akan keberaniannya dan kebaktian sumoinya terhadap ibunya, akan tetapi khawatir sekali akan keselamatan sumoinya yang belum dewasa benar itu.
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (16) tunggu ya...
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (1)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (2)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (3)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (4)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (5)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (6)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (7)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (8)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (9)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (10)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (11)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (12)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (13)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (14)
hosting dan domain
Tidak ada seorang pun diperbolehkan mendekati ruangan pengadilan, bahkan ketika Sin liong dan Swat Hong tiba disitu, mereka dihadang oleh beberapa orang penjaga, "Maaf, atas perintah Sribaginda, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang pengadilan hari ini." Kata mereka. Dengan kedua tangan di kepal, Swat Hong melompat maju, matanya melotot dan mukanya merah sekali, "Apa kalian bilang? Kalian berani melarang aku memasuki ruangan? Apakah kalian sudah bosan hidup?" Sin Liong cepat memegang lengan sumoinya karena dia maklum bahwa kalau sumoinya ini sudah marah, tentu akan hebat akibatnya. Juga para penjaga itu mundur ketakutan karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri ini. "Harap Saudara sekalian melaporkan kepada atasan Saudara bahwa kami akan memasuki ruang sidang," kata Sin Liong dengan tenang kepada para penjaga. "Akan tetapi kami hanya mentaati perintah. Bagaimana kami berani melanggar?" jawab kepala penjaga dengan muka bingung. "Aku tahu. Ibuku yang diadili, Bukan? Nah, dengar kalian! Apa pun yang akan terjadi dengan ibuku, aku harus hadir, kalau perlu aku akan bunuh kalian semua agar dapat masuk!" Kembali Swat Hong membentak. "Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami masuk. Akibatnya biarkan kami berdua yang menanggungnya,"kembali Sin Liong berkata dan keduanya memaksa masuk.
Para penjaga tidak ada yang berani melarang akan tetapi mereka cepat-cepat lari untuk melapor kedalam. Han Ti Ong mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong dan Swat Hong memasuki ruang sidang, akan tetapi dia hanya mengangguk kepada para penjaga yang kebingungan. Hal ini melegakan hati para penjaga dan mereka cepat-cepat meninggalkan ruangan itu untuk menjaga di luar, karena mereka pun tidak boleh mendengarkan sidang yang sedang mengadili isteri raja! Dapat dibayangkan betapa hancur hati Swat Hong melihat ibunya dengan tenang berlutut di depan meja pengadilan
bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sebagai pelayan dalam istana. Hatinya menduga dan dia merasa ngeri karena melihat ibunya dan pemuda itu berlutut di situ, dia seolah-olah melihat Sia Gin Hwa dan Lu Kiat, dua orang pesakitan yang saling berjinah itu! Akan tetapi dia tidak percaya! Tak mungkin ibunya...! Akan tetapi dia menjadi lemas dan menurut saja ketika Sin Liong menariknya dan mengajaknya duduk dideretan kursi pinggiran yang sekali ini sama sekali kosong. Di belakang meja panjang hanya duduk jaksa, hakim, Raja Han Ti Ong , permaisurinya, dan Han Bu Ong, bocah berusia delapan tahun yang mengenakan pakaian indah dan duduk dengan agungnya di dekat ibunya, matanya memandang kearah Sin Liong dan Swat Hong dengan angkuh. Kemudian terdengarlah suara nyaring Sang Jaksa, suara yang bagi telinga Swat Hong terdengar seperti sambaran pedang yang menusuk-nusuk hatinya dan bagi Sin Liong seperti guntur di tengah hari!
"Liu Bwee, sebagai bekas istri Sribaginda, dari seorang anak nelayan biasa menjadi seorang mulia terhormat, ternyata membalas budi Sribaginda dengan aib dan noda yang hina, telah ditangkap karena melakukan perjinahan dengan seorang pelayan muda. Dosa ini amat besar karena selain menimbulkan aib dan malu kepada Sribaginda, juga kalau diketahui dunia luar akan mencemarkan nama Kerajaan Pulau Es. Oleh karena itu, sepatutnya dia dijatuhi hukuman yang seberat mungkin." "Bohong...! Ibu tidak mungkin...." Swat Hong menjerit dan hendak melompat maju menyerang jaksa yang berani mengeluarkan ucapan menuduh ibunya seperti itu akan tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk mencegah sumionya bergerak. "Swat Hong! Berani engkau kurang ajar di depan Ayah?" Terdengar Han Ti Ong membentak dengan penuh wibawa. "Ayah, tuduhan itu fitnah belaka! Tidak mungkin ibu melakukan hal yang kotor itu. Mana buktinya? Siapa saksinya?" kembali Swat Hong menjerit-jerit. "Hong-ji, jangan begitu. Ibumu tidak berdosa, akan tetapi kita harus. tunduk kepada peraturan dan hukum, anakku.Tenanglah." Ucapan ini keluar dari mulut Liu Bwee yang menoleh kearah Swat Hong, suaranya lirih dan jelas, namun mengandung kedukaan yang merobek hati. "Liu Bwee, engkau telah mendengar tuduhan atas dirimu. Apakah pembelaanmu?" terdengar suara hakim tua itu dengan halus dan lirih seperti biasanya, namun penuh wibawa karena dalam sidang ini, dialah orang yang paling kuasa. "Saya tidakakan membela diri, hanya seperti dikatakan anakku tadi, agar tidak mendatangkan penasaran, harap suka disebutkan siapa saksinya dan apa buktinya yang memperkuat tuduhan terhadap diriku," kata Liu Bwee dengan tenang dan suara halus. Jaksa yang termasuk orang di antara anggauta keluarga raja yang tidak senang kepada Liu Bwee karena dia dahulupun mengharapkan agar Han Ti Ong memilih anak perempuannya, segera berkata lantang, "Buktinya? Engkau ditangkap ketika berada di dalam kamar dengan A Kiu, padahal dia bukanlah pelayanmu. Apalagi yang kalian kerjakan kalau bukan berjinah? Seorang wanita dan seorang laki-laki yang tidak ada hubungan apa-apa berada di dalam kamar berdua saja! selain itu, perjinahan kalian juga telah ada yang menyaksikan."
Wajah Swat Hong sebentar pucat dan sebentar merah. Tak dapat dia menahan kemarahanya. Ibunya dituduh berjinah dengan seorang pelayan! "Bohong! itu bukan bukti!! Kalau memang ada yang menyaksikan, hayo siapa yang menyaksikan?" teriaknya, tidak memperdulikan cegahan Sin Liong yang masih memegang lengannya karena khawatir kalau-kalau dara ini mengamuk. "Akulah saksinya!" tiba-tiba terdengar suara kecil merdu dan Han Bu Hong telah bangkit berdiri dengan sikap menantang. Mulut anak ini tersenyum mengejek dan matanya bersinar-sinar. "Enci Hong, akulah yang telah melihat ibumu dan pelayan itu di atas ranjang...." "Ssssttt, diam...!" Permaesuri menarik puteranya. Akan tetapi hakim telah berkata lagi, "Sudah terbukti kesalahan besar yang dilakukan Liu Bwee. Kesalahan paling besar yang dapat dilakukan oleh seorang wanita..." "Nanti dulu!" Dengan muka pucat sekali Swat Hong memotong kata-kata hakim. "Tidak adil kalau begini! kita belum mendengar keterangan A Kiu. Hai, A Kiu, aku percaya bahwa
engkau seorang manusia yang menjujur kegagahan, tidak mungkin seorang pria penghuni Pulau Es Seperti engkau menjatuhkan fitnah sebagai seorang pengecut hina dina. Hayo ceritakan sesungguhnya apa yang terjadi!" Suara Swat Hong ini nyaring sekali dan muka A Kiu menjadi pucat, kepalanya makin menunduk. Suasana menjadi hening dan akhirnya terpecah oleh suara Raja, "A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!" Tubuh itu menggigil, muka yang tampan itu pucat sekali ketika diangkat memandang Raja, kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap tenang dan agung berlutut di sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap angkuh memandang kepadanya, A Kiu mengeluh lirih, kemudian menelungkup dan berkata dengan suara mengandung isak, "Hamba tidak berdaya... hamba memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti kesaksian Pangeran kecil... hamba terpaksa karena..." "Berani kau mengatakan puteraku bohong?" Jeritan ini keluar dari mulut permaisuri dan hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakan tangan kirinya ke arah A Kiu. "Dess...! Aungghh...!" Tubuh A Kiu terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah. Hebat sekali pukulan jarak jauh yang di lakukan permaesuri itu, mengenai kepala A Kiu yang tentu saja tidak kuat menahannya. Hakim dan jaksa saling pandang, sedangkan Raja menegur Permaesurinya, "Kau terlalu lancang...." "Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina putera kita?" Permaesuri membantah dengan suara agak ketus. Raja diam saja dan menarik nafas panjang. Dia merasa bingung dan berduka sekali harus menghadapi perkara ini, lalu memberi isyarat kepada hakim sambil berkata, "Lanjutkan." Hakim menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata lantang, " Saksi utama yang mejadi pelaku perjinahan telah terbunuh karena berani menghina Pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah berada di kamar itu, maka sudah jelas dosa yang dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu sudah adil kalau dia harus dijatuhi hukuman berat. Liu Bwee, pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepadamu!" "Ibuuuu..!!" Swat Hong meronta dan melepaskan diri dari Sin Liong, meloncat dan menubruk ibunya. "Sssst, tenanglah, Hong-ji...." ibunya terbisik dengan sikap masih tenang saja, sungguhpun wajahnya kelihatan makin berduka. "Tenang? Tidak! ibu tidak boleh dihina sampai begini!" Swat Hong lalu bangkit berdiri, menghadapi ayahnya dan berkata lantang, "ibuku telah dijatuhi hukuman tanpa bukti dan saksi yang jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan saya tidak rela melihat ibu dibuang ke Pulau Neraka. Saya sebagai anak tunggalnya, yang takkan mampu membalas budinya dengan nyawa, saya yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu. Saya yang akan mejadi penggantinya ke Pulau Neraka, maka harap Sribaginda bersikap bijaksana, membiarkan ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan usianya di Pulau Es. Ibu, selamat tinggal!" "Hong-ji...!" ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong sudah meloncat dan lari keluar dari tempat itu dengan cepat. Sin Liong memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya hal yang sudak dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan, suatu yang akan meledak, ternyata sehebat ini. "Hong-ji... ah, Hong-ji, Anakku...!" Liu Bwee tak dapat menahan lagi tanggisnya. Dia maklum bahwa untuk mengejar anaknya dia tidak mungkin dapat karena kepandaian puterinya itu sudah tinggi sekali, juga dia sebagai seorang pesakitan, tentu saja tidak berani melanggar hukum dan lari dari tempat itu. "Aduh, anakku... Swat Hong... Swat Hong... apa yang mereka lakukan atas dirimu...?" ibu yang hancur hati ini meratap. Hakim menjadi bingung dan beberapa kali menoleh kearah Raja seolah-olah hedak minta keputusan Han Ti Ong. Raja ini menggigit bibir, jengkel dan marah karena tak disangkanya bahwa urusan akan berlarut-larut seperti ini. Ketika dia menerima laporan tentang istri pertamanya, Liu Bwee, yang berjinah dengan seorang pelayan muda, hatinya panas dan marah sekali. Akan tetapi dia masih hendak membawa perkara ini kepengadilan agar diambil keputusan yang seadil-adilnya. Siapa mengira terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Permaisurinya membunuh pelayan muda, kemudian kini Swat Hong membela ibunya, bahkan menggantikan ibunya "membuang diri" ke Pulau Neraka. maka kini,melihat betapa hakim menjadi bingung dan minta keputusannya, dia memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri sambil berkata, " Sudahlah, sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong. Anak yang keras kepala itu sudah menggantikan ibunya ke Pulau Neraka. Sudah saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus disini!" Setelah berkata demikian, dia menggandeng tanggan Bu Ong dan permaisurinya, bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi Liu Bwee juga bangkit berdiri dan wanita ini berkata lantang, sambil menatap wajah suaminya dengan mata tajam. "Biarpun anakku telah menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku telah diperbolehkan tinggal di sini, akan tetapi apa artinya hidup disini bagiku setelah anakku pergi ke Pulau Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi tinggal di sini lagi. Aku mulai saat ini tidak menganggap diriku sebagai penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi dari sini!" Setelah berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi. Setelah dia bukan pesakitan lagi, setalah dia bukan terhukum, dia berani pergi, bahkan dengan sikap tidak menghormat lagi kepada Raja yang pernah menjadi suami dan pujaan hatinya selama bertahun-tahun itu. "Hmm, sesukamulah!' kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini memasuki istana bersama permaisuri dan Pangeran Bu Ong. Sampai ruangan persidangan itu kosong dan mayat A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih duduk di situ. Di dalam hatinya, dia merasa menyesal melihat sikap Raja Han Ti Ong, gurunya yang di cintainya itu. Tahulah dia bahwa perubahan pada diri gurunya itu terutama sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang kini telah menjadi permaisurinya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali. Bukankah dia sendiri yang dahulu minta kepada gurunya membawa pendekar wanita Bu-tong-pai itu ke Pulau Es? Kini, wanita itu menjadi selir gurunya, dan setelah The Kwat Lin menjadi permaisuri, kebahagiaan ibu Swat Hong menjadi musna! Bahkan kini berekor seperti ini, dengan larinya Swat Hong menggantikan ibunya ke Pulau Neraka sedang ibu dara itu sendiri pergi entah ke mana! Dialah, langsung atau tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, tidak mungkin dia menegur gurunya, Juga permaisuri tidak dapat dipersalahkan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan tanggung jawabnya atas kerusakan hidup Swat Hong dan ibunya. Kalau dia mendiamkan saja, seolah-olah dia ikut pula persekutuan untuk merusak hidup ibu dan anak itu. "Pulau Neraka kabarnya merupakan tempat berbahaya sekali. Aku harus menyusul Swat Hong dan melindunginya."
Demikian dia mangambil keputusan dalam hatinya dan dia tidak lagi berpamit kepada gurunya karena maklum gurunya sedang berada dalam kedukaan dan kepusingan. Pula, Sin Liong sudah biasa meninggalkan pulau itu mencari tetumbuhan obat, maka kepergiannya dengan sebuah perahu menunggalkan Pulau Es tidak ada yang menaruh curiga. Dengan tenaganya yang amat kuat Sin Liong mendayung perahunya sehingga perahu meluncur amat cepatnya menuju ke Pulau Neraka. Dia sudah tahu dimana letaknya pulau itu, dari keterangan yang diperolehnya ketika dia bertanya-tanya kepada para penghuni Pulau Es Bahkan diam-diam pernah pula seorang diri mendayung perahu mendekati Pulau Neraka ini akan tetapi hanya melihat dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu dari jauh tampak kehitaman seperti pulau yang pantas di huni oleh setan dan iblis.Pantainya penuh dengan batu-batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apalagi kalau ombak sedang besar. Sama sekali tidak tampak ada penghuninya
sehingga ketika itu Sin Liong menduga-duga bahwa orang-orang buangan yang dibuang dari Pulau Es tentu telah tewas di jalan, tentu tewas di atas pulau itu. Maka dia menentang keras dalam hatinya kalau melihat di Pulau Es diadakan pengadilan dan diputusakan hukuman buang ke Pulau Neraka, karena baginya, dibuang ke Pulau Neraka sama dengan menghadapi kematian yang mengerikan, baik di dalam perjalanan menuju ke pulau itu atau setelah berasil mendarat. Dan kini Swat Hong telah pergi ke Pulau Neraka mewakili ibunya! Dia kagum dan khwatir. Kagum akan keberaniannya dan kebaktian sumoinya terhadap ibunya, akan tetapi khawatir sekali akan keselamatan sumoinya yang belum dewasa benar itu.
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (16) tunggu ya...
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (1)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (2)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (3)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (4)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (5)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (6)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (7)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (8)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (9)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (10)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (11)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (12)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (13)
Asmaraman Kho Ping Ho - Bu Kek Siansu (14)
hosting dan domain





0 comments
Post a Comment